Haris Norfaizi, - (2023) KONFLIK GEOPOLITIK PASCA PERANG SAUDARA TIONGKOK DALAM KRISIS SELAT TAIWAN (1954 – 1996). S1 thesis, Universitas Pendidikan Indonesia.
Text
S_SEJ_1905059_Title.pdf Download (686kB) |
|
Text
S_SEJ_1905059_Chapter1.pdf Download (154kB) |
|
Text
S_SEJ_1905059_Chapter2.pdf Restricted to Staf Perpustakaan Download (243kB) |
|
Text
S_SEJ_1905059_Chapter3.pdf Download (210kB) |
|
Text
S_SEJ_1905059_Chapter4.pdf Restricted to Staf Perpustakaan Download (1MB) |
|
Text
S_SEJ_1905059_Chapter5.pdf Download (137kB) |
|
Text
S_SEJ_1905059_Appendix.pdf Restricted to Staf Perpustakaan Download (4MB) |
Abstract
Penelitian yang berjudul “Konflik Geopolitik Pasca Perang Saudara Tiongkok dalam Krisis Selat Taiwan (1954 – 1996)” menandai masih terjadinya konflik Tiongkok seusai perang saudara berakhir dengan intrik geopolitik kedua negaranya. Permasalahan yang dikaji di antaranya mengenai kondisi perpolitikan Taiwan setelah berakhirnya Perang Saudara Tiongkok, berlangsungnya Krisis Selat Taiwan, posisi Taiwan dalam hubungan internasional, hingga kebijakan Tiongkok terhadap Taiwan saat peristiwa sebagai tujuan dari penelitian ini. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yang terdiri dari heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Berdasarkan hasil penelitian, setelah berakhirnya perang saudara, pemerintah ROC di Taiwan menerapkan darurat militer. RRT di satu sisi yang baru saja berdiri, berusaha juga untuk mereunifikasi Taiwan mengakibatkan memanasnya Selat Taiwan. Konflik terbagi ke dalam tiga fase, pertama hilangnya Kepulauan Yijingshan dan Dachen dari ROC ke RRT. Fase kedua, dengan ambisi yang sama, RRT menyerang Kinmen dan Matsu meskipun serangan tersebut berhasil dihalau oleh pasukan ROC dan AS menghasilkan ikatan perjanjian kedua negara menjaga Taiwan dari upaya submersif RRT. Fase ketiga disebabkan oleh Presiden Lee Teng-Hui yang menerima undangan reuni di AS terlepas terdapatnya isolasi diplomatik oleh RRT. Selain itu, kebijakan luar negeri yang diadopsi Lee Teng-Hui tentang demokratisasi Taiwan yang lebih independen mendorong RRT menembakkan misil ke arah Pulau Formosa pada krisis ketiga. Hal tersebut menghasilkan simpulan, fase ketiga didorong oleh kebijakan RRT berupa One-China Policy turut mendorong negara sekutu hingga PBB memutuskan hubungan diplomatik dengan ROC yang digantikan posisinya oleh RRT dalam kancah internasional dengan rekomendasi dari penelitian ini kepada penelitian berikutnya atau menambah kekayaan materi pembelajaran di sekolah. This research entitled "Geopolitical Conflict after the Chinese Civil War in the Taiwan Strait Crisis (1954 - 1996)" has problems that are studied including the condition of Taiwan's politics after the end of the Chinese Civil War, the ongoing Taiwan Strait Crisis, Taiwan's position in international relations, and China's policies towards Taiwan during the event. This research uses historical research methods consisting of heuristics, source criticism, interpretation, and historiography. Based on the results of the research, after the end of the civil war, the ROC government in Taiwan implemented martial law in preparation for the takeover of mainland China. The newly established PRC, on the one hand, also tried to reunify Taiwan into its territory, resulting in heated political conditions in the Taiwan Strait separating the two countries. The conflict was divided into three phases, the first caused by the ambitions of both to seize territory resulting in the loss of the Yijingshan and Dachen Islands from the ROC to the PRC. The second phase, with the same ambitions, plus an attempt to compete for power with the Soviets, the PRC attacked Kinmen and Matsu although the attacks were repelled by ROC and US forces resulting in a treaty binding the two countries to safeguard Taiwan and the surrounding region from PRC submersive efforts. The third phase was caused by President Lee Teng-Hui accepting a reunion invitation in the US despite the PRC's diplomatic isolation. In addition, Lee Teng-Hui's adopted foreign policy of democratizing a more independent Taiwan prompted the PRC to fire missiles towards Formosa Island in the third crisis. Moreover, the third phase was driven by the PRC's policy in the form of the One-China Policy, which also encouraged allied countries to the UN to break diplomatic relations with the ROC, which was replaced by the PRC in the international arena.
Item Type: | Thesis (S1) |
---|---|
Additional Information: | https://scholar.google.com/citations?user=OqpYZDIAAAAJ&hl=en ID SINTA Dosen Pembimbing Agus Mulyana: 5992575 Wawan Darmawan: 5992655 |
Uncontrolled Keywords: | Krisis Selat Taiwan, Kebijakan Satu Tiongkok, Geopolitik Taiwan Strait Crisis, One China Policy, Geopolitics |
Subjects: | D History General and Old World > D History (General) D History General and Old World > DS Asia L Education > L Education (General) |
Divisions: | Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial > Pendidikan Sejarah |
Depositing User: | Haris Norfaizi |
Date Deposited: | 08 Sep 2023 01:38 |
Last Modified: | 08 Sep 2023 01:38 |
URI: | http://repository.upi.edu/id/eprint/103412 |
Actions (login required)
View Item |